Short Story


Those are some story that i think they're cool!
Read this!


BITTERNESS BECAME HAPPINESS
Written by Bella Justice

“Cerri, gimana? Kamu masih belum berani juga untuk kenalan sama dia?” tanya Krystie, Ia adalah temanku yang paling setia sekaligus cerewet dan tidak henti-hentinya mendesak aku untuk berkenalan dengan orang itu.

“aku nggak berani Krys, dia nggak seperti anak laki-laki yang lainnya. Dia itu...”

“misterius kan maksudnya? Aku udah bosen dengar alasan kamu itu.” sela Krystie secepat kilat. Ia mendengus kesal dan memasang wajah bete.

“sudahlah Krys, lagipula aku tidak berharap lebih darinya. Aku hanya mengagumi kemisteriusannya saja, jadi, cukup bagiku untuk menyukainya tanpa harus Ia mengetahuinya.” ucapku lalu menampilkan seulas senyum manis yang dibuat-buat.

Krystie yang saat itu sedang berbaring ditempat tidurku langsung bangkit dan duduk disampingku. “kau memang bodoh sekali Cerri.” Katanya.

Aku tidak marah. Aku sadar bagaimana jika aku diposisi Krystie, sebagai seorang sahabat yang selalu mendengarkan curahan hatiku, Ia tentu merasa kesal karena mempunyai sahabat yang bodoh dan penakut seperti diriku. Wajar jika Krystie berkata begitu, mungkin kesabarannya dalam menghadapi sikapku sudah sampai pada puncaknya. Ini pertama kalinya aku menyukai seseorang. Pria yang sedari tadi aku dan Krystie bicarakan adalah Joe, nama panjangnya yaitu Jonathan Andrews. Joe adalah teman sekelasku saat duduk dibangku SMA kelas 10. Sejak pertama melihatnya aku langsung mengaguminya, tetapi bukan karena faktor wajah tampannya saja, namun sifatnya yang dingin dan misterius membuat aku semakin menyukainya. Sayangnya, ketika menginjak kelas 11 kami harus berpisah. Meskipun kami berada dijurusan yang sama yaitu IPA, tapi kelas kami berbeda. Namun takdir kembali mempertemukan aku dengan Joe. Dikelas 12 kami sekelas dan aku merasa sangat senang. Tetapi entahlah, walaupun sekelas, Joe dan aku juga sama sekali tidak pernah berbicara. Semua orang dikelasku sudah pernah berbicara dengannya meskipun hanya beberapa kalimat, aku juga ingin seperti mereka!
***


“Cerri, ini tugas Kimia milikku.” Ujar seseorang yang amat aku hafal suaranya.

Aku yang tadinya sedang tertidur, meletakkan kepalaku dengan malas di atas meja sambil menutupi wajah dengan cardigan lalu seketika terbangun dan menatapnya yang berdiri tepat dihadapanku. Jonathan Andrews! Ia akhirnya berbicara dengankku!

“o-oh, i-iya, terimakasih.” Kataku gelagapan.

Dan tanpa aku sadari kini Krystie tengah berdiri disamping Joe. Ia mengedipkan satu matanya kearahku. “Joe, ada beberapa hal yang ingin Cerri sampaikan kepadamu. Bisakah kau bertemu dengannya seusai jam sekolah nanti di taman belakang?” oh my God! Krystie rupanya benar-benar sudah gila. Ia tidak bisa lagi menahan rasa kesalnya, d-dan berani-beraninya Ia mengatakan hal itu. Tetapi sudahlah, nasi sudah menjadi bubur, lagipula, aku yakin Joe juga tidak akan mau. Ia adalah orang yang sibuk. Kesehariannya selalu diisi dengan bermain futsal bersama teman-temannya. Jadi, untuk gadis seperti aku rasanya tidak layak memohon kepada Joe agar meluangkan sedikit waktunya.

“Ok.” Jawabnya singkat kemudian berlalu menuju tempat duduknya. Aku hampir tidak percaya bahwa Joe baru saja mengatakan ‘Ok.’ Ia memenuhi permintaan konyol yang dibuat oleh Krystie.

“ohlala~ Cerri my bestfriend, kau sungguh beruntung! Ini berarti, Joe mungkin saja mempunyai perasaan terhadapmu!” Aku tidak mengerti maksud perkataan Krystie. Joe mungkin saja mempunyai perasaan terhadapku? Itu tidak mungkin terjadi.

“apa maksudmu? Apa kau sudah gila Krys?” aku kembali meletakkan kepalaku di atas meja dan bersiap untuk tidur. Arah pembicaraan Krystie aku rasa sudah melayang ke benua Eropa. Ia semakin ngelantur.


Krystie menggembrak mejaku ringan lalu berbisik. “kau tau tidak? Aku berkata seperti itu kepada Joe karena hanya ingin mengetesnya saja. Aku mendapat info, hari ini sehabis pulang sekolah Ia harus menghadiri latihan futsal dan tidak boleh sampai telat, hukumannya bagi yang telat adalah dicadangkan. Tetapi, buktinya, Joe mengiyakan untuk mendengarkan hal yang ingin kau sampaikan Cer! Jadi, aku harap kau tidak mengacaukan rencana yang sudah kubuat dengan sangat sempurna. Lakukan yang terbaik. Katakan apa isi hatimu yang sebenarnya padanya, setelah itu kalau kau malu, kau boleh menghilang dari hadapannya.”
***


Dengan langkah yang kaku aku terus berjalan melalu koridor sekolah menuju taman belakang sekolah. Aku benar-benar sangat gugup saat ini! Aku tidak tahu mau memulai pembicaraan dari mana. Andai saja Krystie bisa menemani aku lalu mengumpat dari belakang tembok sambil memperhatikanku, mungkin aku bisa sedikit lebih rilex. Tetapi, kenyataannya Krystie sudah pulang terlebih dahulu. Ia bilang bahwa mamanya meminta Ia membantu untuk memasak makan malam bersama dengan keluarga besarnya. So, I’m totally alone here.

Murid-murid pun sudah hampir tidak kelihatan, seluruhnya sudah kembali ke rumah masing-masing. Hanya beberapa yang aku lihat masih berada di dalam kelas karena sedang mengerjakan tugas kelompok dan semacamnya. Aku semakin gemetaran. Keringat dingin mulai mengalir dari wajahku, aku sudah berada di gerbang taman belakang sekolah, aku hanya perlu membukanya untuk melihat Joe yang mungkin berada di sana.

*Kriet*

Itu dia Joe! Tetapi ia tidak sendiri. Aku rasa sebentar lagi pipiku akan basah dibanjiri oleh air mata. Aku sungguh tidak ingin melihat hal ini. Kenapa harus aku yang menjadi saksi? Ini benar-benar menyayat hatiku. Rasa cintaku pada Joe hancur menjadi kepingan. Bodohnya, bukannya lekas pergi tapi aku terus berdiri terpana. Benar seperti apa yang dikatakan Krystie kalau aku ini memang bodoh. Bahkan disaat Joe sedang bericuman dengan Arissa, wanita yang paling cantik disekolahku, aku tidak berkutik dan hanya mematung dengan mata terbelalak digenangi air mata.

“Cerri?!” sahutnya lantang. Ah, rupanya Joe sadar bahwa aku memata-matainya. Ia melepaskan bibirnya yang terpaut dengan Arissa lalu dengan terburu-buru menghampiriku.

Yang lebih menyedihkan lagi, aku bukannya lari dan menjauh dari sana karena telah mengganggu kebahagian mereka, tetapi malah terdiam tak dapat bergerak barang sesenti.

“Cerri, aku ingin menjelaskan sesuatu, tolong dengarkan aku dulu.” Nada suara Joe yang memelas memasuki telingaku. Aku bisa mendengarnya dengan sangat jelas tetapi aku tidak meresponnya, aku hanya membisu di tengah kejadian yang memilukan ini.

“aku menyukaimu Cerri.”

Perkataan macam apa itu? aku tertawa sumbang dalam hati. Kalau kau menyukaiku, mengapa kau mencium wanita lain dengan sangat mesra? Lagi-lagi aku tidak menanggapi apa yang Joe ucapkan.

Pria itu memegang kedua pundakku dan menggoncang-goncangkannya. “katakan sesuatu Cerri! Aku tau saat ini kau kecewa kepadaku, jika itu yang ada di dalam hatimu, katakanlah!” nada suara Joe semakin meninggi. Wajahnya memerah menahan kesal karena aku tidak memberikan reaksi apapun.

Aku menundukkan kepalaku menghadap rerumputan. Aku menarik nafas sebanyak mungkin lalu menatapnya dan berkata. “kau bukan siapa-siapaku, untuk apa aku harus kecewa? Maaf aku mengganggu kesenanganmu. Silahkan lanjutkan.” Aku harap perkataanku cukup meyakinkan. Aku membalikan badanku dan melangkah pergi dari tempat terjadinya peristiwa yang tidak akan pernah aku lupakan.

Baru 3 langkah aku berjalan, seseorang yang sudah pasti adalah Joe menghentikanku. Ia menggenggam pergelangan tanganku dengan kencang, kemudian menariknya. Seperti sedang berdansa, aku yang tadinya memunggungi pria itu seketika berputar 360°. Joe melingkarkan tanganya pada pinggangku, Ia menahan agar aku tidak terjatuh kebelakang dan berakhir dengan membenturkan kepalaku. Pose semacam ini, yang biasanya hanya aku lihat di film, yang biasanya aku bayangkan, yang selalu aku impikan, andai aku bisa merasakan hal romantis seperti itu, walau hanya sekali dalam hidupku aku ingin impianku menjadi kenyataan. Sekarang, apa yang aku harapkan sudah terjadi, dan orang yang sangat istimewa bagiku yang memperlakukan aku seperti adegan di film-film tersebut.

“Arissa tiba-tiba saja datang kepadaku dan ia berkata bahwa ia akan berhenti menghalangi setiap wanita yang mendekatiku kalau aku mau menciumnya. Saat itu aku berfikir, aku melakukannya hanya untukmu Cerri. Dan Arissa adalah alasan mengapa selama ini aku tidak berani mendekatimu, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu. Ia bisa saja melukaimu kalau Ia tau kau menyukaiku, dan terlebih lagi aku juga menyukaimu. Ia pasti tidak akan melepaskanmu.” Jelas Joe.

Jadi, selama ini semua karena Arissa? “bagi Arissa apa arti dirimu untuknya?”

“bagiku Joe adalah cahaya yang menerangi gelapnya hidupku.” Sahut suara itu. Ah, Arissa masih di sana ternyata. “Aku sudah mengenalnya sejak kecil, jadi dia adalah milikku. Tidak ada yang boleh dekat dengannya selain aku.”

“aku tidak pernah menyukaimu Arissa! Wanita yang ada di didalam hatiku hanya Cerri seorang!” kata Joe setengah berteriak.

Aku tidak tahan dengan hal ini. Aku tidak ingin lagi terlibat. Aku ingin keluar dari lingkaran yang selama ini aku masuki. Aku melepas pertahanan Joe dan berlari menjauh dari sana.

Dari kejadian itu aku sadar. Tidak semua yang aku ingini menjadi milikku. Banyak orang di luar sana yang berebut akan satu hal yang sama, dan yang lebih parah, orang yang diperebutkan tersebut tidak tau bahwa selama ini Ia telah menyakiti hati orang yang memperebutkannya karena Ia tidak berani memilih satu diantaranya. Aku mengalah, aku mundur. Aku akhirnya sadar bahwa aku selama ini tidak yakin dengan perasaanku kepadaku Joe. Jika aku benar-benar menyukainya aku pasti mempertahankannya, aku pasti tidak akan pergi dari tempat itu, berdiri di samping Joe dan memihak kepadanya.
***


“kau sudah puas, hah?” tanyaku menantang.

Pria di depanku ini tertawa riang lalu kemudian menyeruput teh hangat dihadapannya. “aku senang kau akhirnya mau menceritakan tentang masa lalu mu Cerri. Pantas saja selama ini aku seperti merasa dinomer duakan, ternyata karena Jonathan Andrews, si cinta masa lalu kekasihku ini.”

“sudahlah Pierre, jangan menggodaku terus! Itu hanya masa lalu, kau tau?” aku merapatkan mantelku dan menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku di dekat perapian karena udara musim dingin di Paris semakin parah. Pierre pun ikut-ikutan melakukan hal yang sama sepertiku.

Pria bermata hijau pudar itu tiba-tiba menggapai tanganku dan menggenggamnya, Ia menatap lurus mataku. “lihatlah aku seorang. Jangan menoleh ke belakang, ke kiri, atau ke kanan. Aku akan selalu berada disisimu. Cerri, ingatlah kata-kataku, kau hanya akan memandang ke depan bersamaku.” Lalu Pierre menarikku masuk kedalam pelukannya. Ia mendekapku erat dan membelai lembut rambutku.

Aku tersenyum, mengela nafas dalam rangkulan hangat Pierre. “kau tidak perlu khawatir. Semua yang aku ceritakan hanya tinggal kenangan. Dari awal aku hanya melihat kearahmu. Aku tidak pernah menoleh ke belakang atau kemana pun karena aku tidak hidup di masa lalu, tetapi aku hidup di masa depan, dan masa depanku adalah dirimu.”

“merci beaucoup mon amour, Je t’aime.” Pierre melayangkan sebuah kecupan dibibirku dan malam itu aku sepenuhnya sadar bahwa memang seperti ini jalan hidupku. Terasa getir di awal, tetapi manis di akhir.
THE END



Written by Bella Justice
Twitter : @bellajusticee
Freshman of English Literature who loves learning languages. Hope you all like it!

At The Romantic Paris
             Oleh Natania Prima Nastiti

            Selalu teringat dibenakku kejadian dua minggu yang lalu. Teringat akan senyuman tulus gadis itu juga kedua mata indahnya yang kugambarkan mirip dengan bulan terang di malam hari. Saat nyaris saja sebuah mobil menabrak gadis itu, dengan sigapnya aku menolong gadis yang tidak kuketahui namanya itu bak seorang pahlawan. Kejadian itu benar-benar membuatku gelisah sekarang. Ditambah pancaran sinar dari wajah cantik gadis itu yang membuatku tambah tak karuan. Bahkan hingga saat ini, aku masih saja terus gelisah memikirkan gadis cantik itu. Hingga saat ini, saat sesuatu yang tidak terduga datang lagi kepadaku..

            Kupotret bangunan-bangunan di Kota Tua sore itu, semua orang yang lewat, para pedangang yang menanti pembeli datang. Hingga sesuatu yang tidak terduga itu terjadi. Diantara banyak orang-orang lewat sambil tertawa ria, aku melihat sosok wajah yang familiar. Ya, gadis itu. Gadis yang kutolong dua minggu lalu. Dia juga sedang asik mengabadikan kejadian-kejadian menarik di Kota Tua sore itu. Kemudian terukir sebuah senyuman dibibirku, dan aku pun berlari menghampiri gadis itu. “Hey!” sapaku. Gadis itu menoleh sambil tersenyum indah dengan tampang agak sedikit bingung dan ragu. “Dua minggu lalu, kita ketemu saat kamu mau ketabrak mobil. Udah inget sama aku?” tanyaku menjawab tanda tanya dipikiran gadis itu. Gadis itu kemudian tertawa sambil menganggukkan kepalanya.

            “So, kamu seneng photograph juga, Sar?” tanyaku setelah kami berkenalan dan aku tau nama gadis itu adalah Sarah. “Iya. Dari SMA aku udah suka photograph. Seneng aja gitu bisa ngabadiin hal-hal menarik yang kadang nggak kita sadarin” jawabnya sambil tersenyum lembut ditambah sebuah lesung pipi di pipi kanannya. Aku mengangguk. “Emm, kapan-kapan boleh kali hunting bareng. Hehe” ucapku basa-basi. “Oh, boleh-boleh! Secepatnya deh direncanain tempatnya, soalnya baru-baru ini aku juga ada rencana mau hunting gitu deh” jawabnya bersemangat. “Oke deh, pasti diusahain cepet cari tempat huntingnya, Sar” sahutku sambil mengedipkan satu mata kearahnya. Sarah tertawa kemudian dia memotret seorang ibu yang sedang menggandeng kedua anak kembarnya. “Mau es krim?” tanyaku lagi. Sarah mengangguk.

***

            Semakin lama, semakin dekat aku dengan Sarah. Takdir memang tidak kemana, pertemuanku dengan Sarah benar-benar takdir yang indah. Apalagi setelah kita berdua hunting bersama di sebuah wisata air terjun di Jawa Tengah, kita berdua menjadi semakin akrab lagi. Kita berdua sudah saling berbuka cerita satu sama lain. Berbagi inspirasi, cerita, pengalaman, trik-trik memotret yang baik dan lainnya. Sampai kuketahui ternyata kedua orangtua Sarah telah lama meninggal dan sekarang dia tinggal bersama tantenya dengan hidup yang sederhana. Kenang-kenangan dari kedua orangtuanya hanya sebuah kamera yang sekarang selalu berada disisinya juga keinginan orangtuanya yang selalu ada dipikiran Sarah. Mereka ingin sekali Sarah menjadi photografer handal, terkenal dan bisa melanjutkan studi di Paris. “Mereka mau banget aku bisa ke Paris, menjadi seorang mahasiswi dan seorang photografer yang handal, Zan. Jika suatu saat aku bisa memamerkan hasil foto-fotoku di Paris, mereka pasti akan bangga banget punya anak kayak aku. Makanya itu, sampe sakarang, aku terus berlatih jadi photografer yang handal supaya bisa dapet beasiswa ke Paris dari kampusku. I ever fail, but I always try it again and again”, jelas Sarah saat berbicara tentang keinginan orangtuanya. Dari situ aku mengerti, bahwa Sarah adalah seorang perempuan yang pantang menyerah demi keinginan orang yang disayanginya.

            Lima bulan telah berlalu dengan begitu cepat. Kedekatanku dengan Sarah semakin menjadi. Kehandalan Sarah dalam memotret suatu objek juga semakin mantap. Aku optimis, jika dia bisa mendapatkan beasiswa itu. Dengan berjalannya waktu dan kedekatan ini, timbul perasaan sayangku padanya yang lebih mendalam dari sebelum-sebelumnya. Aku semakin ingin menjaga Sarah sepenuh hatiku. Aku ingin sekali melindunginya dari apapun. Aku ingin selalu ada disampingnya selalu. Menemani harinya. Tapi, aku masih belum berani mengungkapkan perasaan sayang ini padanya. Mungkin aku memang cowok pengecut yang takut ditolak cintanya dengan Sarah jika aku mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya. Tapi, aku memang benar-benar takut. Sampai saat ini Sarah tidak pernah memperhatikanku sampai sedetail mungkin. Dia hanya memerhatikanku sebagai temannya, menurutku. Sampai malam itu, saat aku mengajaknya ke Puncak, malam yang sangat istimewa bagiku..

            “Dezan, kamu nggak mau ngomong sesuatu sama aku?” tanya Sarah tiba-tiba. seketika aku bingung menatap Sarah. Tapi Sarah membalas tatapan bingung itu dengan senyuman dan sebuah lesung pipi khasnya. “Emm, berbulan-bulan kita dekat, apa kamu nggak ngerasa sesuatu yang berubah dari hati kamu?” tanya Sarah lagi sambil memandang licik kearahku. Aku hanya menaikkan satu alisku keatas, bingung. “Oke, bukannya aku kepedean sih, but I think.. you like me”, ucapan singkat yang keluar dari mulut Sarah itu telah membuat sekujur tubuhku gemetaran. Aku rasa darahku berhenti mengalir. Kemudian aku menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan hingga tiga kali, baru kemudian kujawab ucapan Sarah tadi. “No I’m not. I don’t like you, but I love you, Sarah” jawabku kemudian. Sarah terlihat kaget sejenak, dan kemudian dia tersenyum indah sekali padaku. “Dari pertama insiden itu terjadi, aku udah tertarik sama kamu. Tadinya aku berpikir mustahil akan bertemu kamu lagi tapi ternyata takdir berkata lain. Kita berdua dipertemukan kembali di sebuah tempat indah dan saat suasana romantis tercipta. Sampai akhirnya kita semakin dekat dan semakin lama perasaan sayang itu terbentuk di hatiku untuk kamu, Sarah” ucapku. Tiba-tiba Sarah memelukku dengan erat, aku merasa bahuku basah. Sarah menangis. “I love you too, Dezan” ucapnya disela-sela isak tangisnya. Senyumku berkembang sambil membalas pelukan Sarah.

***

            Malam itu dirumah Sarah sangat ramai. Bertahun-tahun Sarah menginginkan dan akhirnya hari itu juga dia telah mendapatkannya. Malam itu juga genap hubungan kami yang setahun. “Thanks for Jesus, Father from all of children, yang telah memberikan kasih sayangnya padaku,  thanks for my friends, my belove’s aunt and thanks for my beloved, yang telah hadir disini. Aku mendapatkan beasiswa ini nggak luput dari peranan dan support dari kalian semua. Bertahun-tahun aku mengejarnya, ternyata pengejaran itu berakhir disini. Ditahun ke-6 kedua orangtuaku meninggal. Setelah nanti aku berada di paris, aku nggak akan pernah mengecewakan kalian semua terutama Tante Mira dan keluarga yang telah ngerawat aku setelah kepergian kedua orangtuaku. Aku benar-benar berterima kasih atas apa yang telah kalian lakukan padaku” ucap Sarah panjang lebar dihari kebahagiaannya malam itu. Pelukan dan ciuman hangat serta tangis haru beradu menjadi satu dimalam bahagia itu. Aku yakin, kedua orangtua Sarah juga pasti merasakan kebahagiaan di Surga sana.

            Setelah lama berbincang, kemudian Sarah pamit permisi sambil mengajakku keluar rumah. sarah memelukku kemudian mencium pipiku. Dikeluarkannya tiket pesawat keberangkatan menuju Paris besok dari dalam saku bajunya. “See it, Honey” ucapnya sambil tersenyum padaku. “Happy anniversary one year, Dezan” ucapnya lagi sambil meneteskan air mata. “Kenapa?” tanyaku sambil menghapus air matanya. “Walau nanti kita nggak ketemu, kita berbeda tempat, berbeda pijakan bumi dan hamparan langit, kita akan tetap saling mencintai kan? Kamu nggak akan ninggalin aku kan? Hati kita akan terus bersatu kan?” tanya Sarah semakin terisak. Aku tersenyum, “aku cinta sama kamu selama-lamanya, Sarah. Aku akan terus dan akan tetap mencintaimu sampai nanti kita akan kembali pada Tuhan. Only dead is over our”. “I wish, We can meet again and stay at the romantic place in this world, French. Paris. And at the heaven if we die” ucap Sarah sambil terus menangis. “Kita pasti akan bertemu di kota romastis sedunia ini, Paris dan di Surga jika kita mati nanti” sahutku mengikuti ucapan Sarah. Aku memeluk Sarah dan menciumi keningnya. Walau berat melepasnya, tapi aku rela demi kebahagiaannya... mungkin...

            Acara di rumah Sarah selesai sekitar pukul 01.00. semua teman-temannya sudah pulang dan aku pun pamit pulang pada Sarah dan keluarga Tantenya. Saat setengah perjalanan, tiba-tiba handphoneku bergetar. Kupinggirkan mobil di bahu jalan yang lumayan sepi itu. “Iya, Tante, ada ap..?” ucapanku terputus. Bulu kudukku berdiri, aku merasa jantungku akan berhenti saat itu juga. Apa ini? apa yang baru kudengar ini?! handphoneku terjatuh. Aku memandang kosong kearah jalanan yang sepi. Semua badanku kaku dan gemetaran. Ini pasti mimpi! Just dream! Just shit dream!!. Suara Tante Mira masih bisa kudengar saking sepinya jalanan itu. “Hallooo?! Dezan? Dezann?! Kamu dengar kan? Sarah kecelakaan! Kamu harus cepat ke rumah sakit!”.

***

            We can meet again and stay at the romantic place in this world, French. Paris. And at the heaven if we die”. Teringat ucapan Sarah yang masih terdengar jelas ditelingaku. Ternyata pelabuhan terakhir memanglah Surga bukan kota romantis sedunia seperti Paris. Kelu lidah ini melihat gadis bergaun putih, bersarung tangan putih dengan tataan rambut yang indah dan wajah yang cantik tertidur pulas disebuah peti yang berbalut kain putih dengan banyak bunga di dalamnya. Kota Paris, hanyalah sebuah kota megah yang hanya dapat dia impikan tanpa bisa diraihnya. “Setelah kamu pergi, Sarah berlari mengejar mobilmu dan meneriaki namamu, Dezan. Hingga tanpa aba-aba, terdengar decitan rem yang sangat nyaring dari sebuah mobil sedan. Dan tanpa bisa dihentikan lagi, badan logam mobil itu telah beradu dengan tulang yang berbalut daging milik Sarah hingga dia terpental jauh. Tante nggak kuat, Zan, kenapa Tante harus menyaksikan sendiri peristiwa itu? Menyaksikan sendiri keponakan yang sangat tante banggakan akhirnya harus merelakan semua impiannya sia-sia”, ucapan Tante Mira tadi membuat tangisku semakin menjadi. Semua teman menyemangatiku. “Yang kami temukan, sebuah tiket menuju Paris dan sebuah foto ini”, ucapan Inspektur polisi malam itu, membuat aku mengeluarkan foto yang terkena bercak darah dari dalam kantong plastik. Foto mesra kami berdua. Foto cantik Sarah dengan senyumannya yang selalu tulus dan kedua matanya yang indah. Sama persis ketika aku pertama kali melihatnya dulu. Tapi sekarang senyuman itu akan pudar selamanya dan kedua mata itu akan tertutup tidak akan pernah terbuka lagi. Maaf jika kali ini aku tidak bisa menolongmu, Sarah. Ku relakan engkau Sarah, walau berat bagiku melepasmu kembali ke Sisi Tuhan...

Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerpen Romantis / Natania Prima Nastiti dengan judul At The Romantic Paris. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://cerpen.gen22.net/2012/11/at-romantic-paris.html. Terima kasih!

No comments:

Post a Comment